Istilah diskusi di sini berupa suatu konstruk yang oleh penulis diisi pengertian yang sedikit berbeda dengan istilah diskusi dalam kaitannya dengan debat, dan diskusi dalam kaitannya dengan bentuk pembelajaran pada umumnya. Pengertian umum diskusi yaitu membicarakan suatu persoalan oleh para penerima diskusi dengan tujuan untuk menemukan pemecahan yang paling baik menurut aneka macam masukan. Sebaliknya, debat yaitu pembicaraan perihal suatu persoalan dengan tujuan untuk memenangkan atau mempertahankan pendapat yang dimiliki oleh penerima debat. Sangat mungkin, pendapat yang dimenangkan bukan yang terbaik.
Diskusi sebagai suatu bentuk pembelajaran umum yaitu suatu cara pembelajaran di mana penerima didik (anak didik, mahasiswa) mendiskusikan (membicarakan, mencari jawabanan bersama) dengan cara saling memdiberikan pendapatnya, lalu disaring untuk ditemukan kesimpulan. Tentu saja persyaratan terjadinya pembelajaran dengan diskusi yaitu bahwa bahasa benar-benar sudah sangat dikuasai oleh penerima didik. Guru tidak lagi memdiberikan perhatian pada bahasa, melainkan pada isi atau materi diskusi.
Diskusi di dalam makalah ini didiberi pengertian sebagai bentuk pembelajaran bahasa asing, di mana para penerima diskusi mengemukakan pendapatnya perihal suatu persoalan (topik). Seseorang mempersiapkan pendapatnya secara tertulis dalam bentuk karangan pendek, lalu disajikan di kelas. Yang lain memdiberikan tasumsi secara lesan. Kebenaran pendapat yang disampaikan, baik oleh penyaji makalah maupun teman-temannya, memang perlu diperhatikan, tetapi yang ludang keringh ditekankan yaitu bahasa yang dipergunakan benar atau tidak. Di samping itu, kesimpulan pendapat tidak perlu dituntut. Maka, kiprah guru (pelatih) ludang keringh pada merekam (mencatat) kesalahan-kesalahan bahasa apa saja yang dibentuk oleh penerima diskusi.
Konteks diskusi di dalam makalah ini seolah-olah dengan apa yang terjadi pada pengaplikasian perkuliahan seminar bahasa dan sastra, atau perkuliahan seminar pengajaran bahasa dan sastra di agenda studi atau jurusan bahasa dan sastra. Dalam pengaplikasian perkuliahan jenis ini, di samping diperhatikan tercapainya kompetensi sebagai pemakalah dalam menulis makalah, menyajikan makalah, menjawaban pertanyaan; dan tercapainya kompetensi sebagai pemandu, penambat, dan pembahas tertunjuk, juga masih diperhatikan bagaimana pembahasaan (cara mengungkapkan dengan bahasa) dalam makalah, bagaimana pemakaian bahasa dalam bertanya jawaban, dan menuliskan tambatan.
Pembelajaran bahasa abnormal dengan diskusi jarang terjadi hanya dengan satu pertemuan, tanpa dilampaui oleh pertemuan-pertemuan penlampauan. Mengapa? Karena untuk sanggup berdiskusi dibutuhkan materi diskusi. Oleh alasannya yaitu itu, sebelum bentuk pembelajaran diskusi sanggup diterapkan perlu ada pembelajaran-pembelajaran dengan bentuk pembelajaran lain untuk tujuan membekali bahan, baik materi diskusi maupun materi bahasanya sebagai alat diskusi. Menurut pengalaman, dalam suatu kursus bahasa---berarti terjadi secara terencana, dari pertemuan ke pertemuan yang lain--pengaplikasian pembelajaran bahasa abnormal dengan diskusi menjadi akibattif jikalau diawali dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan topik-topik yang berhubungan; gres pada awal pertemuan-pertemuan diberikutnya (konkretnya pada awal ahad diberikutnya) dilaksanakan pembelajaran dengan diskusi. Bahan diskusi berupa perpaduan (ramuan atau olahan) dari topik-topik yang dipelajari pada pertemuan-pertemuan sebelumnya..
Mengapa bentuk diskusi cocok untuk pencapaian bahasa tingkat CALP? Menurut pengalaman, mencar ilmu bahasa Indonesia sebagai bahasa abnormal dengan bentuk diskusi mempunyai keuntungan-keuntungan diberikut. Pertama, dengan diskusi, memang materi bahasa bagi pembelajar "tidak" menjadi konsentrasi perhatian mereka. (Materi bahasa menjadi perhatian pada waktu persiapan diskusi, yaitu pada waktu pertemuan-pertemuan penlampauan). Yang menjadi konsentrasinya justru bagaimana pembelajar mengemukakan pendapatnya dengan logika, data, dan gagasannya. Bagi pembelajar tingkat lanjutan, berarti pada tingkat dicapainya CALP, kemampuan berbahasa "sudah" mereka miliki. Jadi, rasa takut salah dalam berbahasa sudah berkurang, atau bahkan sanggup dihindari. Kedua, dengan diskusi, pembelajar "dipaksa" mengemukakan pendapatnya. Keterpaksaan itu justru mendorong pembelajar--tanpa "takut" salah dalam berbahasa--dengan sekuat tenaga dan sebanyak yang dimiliki untuk dipakai pada waktu menjadi pemakalah, atau pembahas, atau pemandu, atau notulis (penambat). Ketiga, tiruana keterampilan--mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis--dipelajari. Keempat, bagi pembelajar lanjut, yang pada umumnya yaitu mereka yang duduk di sekolah tinggi tinggi, alasannya yaitu terjadinya transfer of learning, apa yang pernah diperolehnya--dalam hal ini penguasaan perihal aturan-aturan menciptakan makalah, dan sebagainya--dengan praktis sanggup dimanfaatkan.
Advertisement