Dalam studi Filsafat Ilmu, pandangan wacana suatu ‘kebenaran’ itu sangat tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Ada tujuh teori kebenaran yang paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya, yaitu:
1. Teori Korespondensi (Bertand Russel 1872-1970)
Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi ialah “teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut.” [1][4]
Maksudnya kalau ada yang menyampaikan bahwa “gedung FITK UIN SYAHID Jakarta itu berlantai 7,” maka pernyataan itu benar lantaran memang secara factual FITK mempunyai 7 lantai.
Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi ialah teori kebenaran yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini menganggap bawa “suatu pengetahuan mempunyai skor benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya”, Contoh, ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian kebenaran epistimologis ialah kemanunggalan/keselarasan antara pengetahuan yang ada pada subjek dengan apa yang ada pada objek, atau pernyataan yang sesuai dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang sesuai dengan situasi actual.
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.diantara penggagas teori ini ialah Plato, Aristoteles, Moore, russel, Ramsey dan Tarski. Mengenai teori korenspondensi wacana kebenaran, sanggup disimpulkan sebagai diberikut:
Kebenaran ialah kesesuaian antara pernyataan wacana sesuatu dengan kenyataan itu sendiri.
2. Teori Koherensi wacana kebenaran (konsistensi)
Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini ialah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu pengetahuan dianggap benar berdasarkan teori ini ialah “bila suatu proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terlampau yang berskor benar”. Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu sanggup diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau melalui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibuat atas hubungan antara putusan dengan fakta atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang gres dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terludang keringh lampau.
Teori ini menganggap bahwa“Suatu pernyataan sanggup dikatakan benar apabila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang di anggap benar. “[2][5]
Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “tiruana fauna akan mati” ialah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam ialah fauna, dan ayam akan mati” ialah benar pula, alasannya ialah pernyataan kedua ialah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Jadi berdasarkan teori ini, “putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling bekerjasama dan saling menandakan satu sama lain. Maka lahirlah rumusan kebenaran ialah konsistensi, kecocokan.”[3][6]
3. Teori Pragmatis (Charles S 1839-1914)
Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya ialah William James dan John Dewey. Suatu pengetahuan atau proposisi dianggap benar berdasarkan teori ini ialah “bila proposisi itu mempunyai konsekwensi-konsekwensi mudah (ada manfaat secara praktis) ibarat yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka berdasarkan teori ini, tidak ada kebenaran mutlak, universal, bediri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan tergantung serta sanggup diroreksi oleh pengamalan diberikutnya.
Untuk pertama kalinya teori ini tertuang dalam dalam sebuah makalah tahun 1878 yang berjudul “ How To Make Our Ideas Clear”, kemudian kemudian di kembangkan oleh beberapa pakar filsafat yang kebanyakan orang berkebangsaan Amerika, dan menjadikan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli filsafat ini antara lain William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), Geore Herbart Mead (1863-1931). “Kebanaran bagi aliran ini diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan mudah atau tidak?.”[4][7]
Jika seseorang menyatakan teori x dalam pendidikan, kemudian dari teori itu dikembangkan teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar lantaran fungsional.
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, bukti, atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar kalau mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah kalau tidak mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau wangsit ialah benar apabila ia mambawa kepada akhir yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia mempunyai skor praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya. Makara kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
4. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori Kebenaran Sintaksis. Teori ini berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, ibarat Friederich Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu mengikuti hukum sintaksis (gramatika) yang baku’.
5. Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran Semantis. Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi mempunyai skor benar ditinjau dari segi arti atau arti. Apakah proposisi itu awal tumpuannya pengacu (referent) yang jelas?. Jadi, mempunyai arti maksudnya menunjuk pada rujukan atau kenyataan, juga mempunyai arti yang bersifat definitif.
6. Teori Kebenaran Non- Deskripsi
Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Jadi, berdasarkan teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai skor benar ditentukan (tergantung) kiprah dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang amat mudah dalam kehidupan sehari-hari).
7. Teori Kebenaran Logik
Teori Kebenaran Logik. Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini karenanya merupakan suatu pemborosan, lantaran intinya apa—pernyataan—yang hendak dibuktikan kebenarannya mempunyai derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya.
8. Agama sebagai teori kebenaran
Manusia ialah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran ialah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memdiberikan jawabanan atas segala dilema asasi yang dipertanyakan manusia, baik wacana alam, insan maupun wacana tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya ludang keringh mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, maka dalam teori ini ludang keringh mengedepankan wahyu yang bersumber dari tuhan.
Penalaran dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir sehabis melaksanakan penyelidikan dan pengalaman. Sedangkan insan mencari dan memilih kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau mencari jawabanan wacana masalah asasi dari atau kepada kitab suci, dengan demikian suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan pedoman agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
1. Teori Korespondensi (Bertand Russel 1872-1970)
Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi ialah “teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut.” [1][4]
Maksudnya kalau ada yang menyampaikan bahwa “gedung FITK UIN SYAHID Jakarta itu berlantai 7,” maka pernyataan itu benar lantaran memang secara factual FITK mempunyai 7 lantai.
Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi ialah teori kebenaran yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini menganggap bawa “suatu pengetahuan mempunyai skor benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya”, Contoh, ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian kebenaran epistimologis ialah kemanunggalan/keselarasan antara pengetahuan yang ada pada subjek dengan apa yang ada pada objek, atau pernyataan yang sesuai dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang sesuai dengan situasi actual.
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.diantara penggagas teori ini ialah Plato, Aristoteles, Moore, russel, Ramsey dan Tarski. Mengenai teori korenspondensi wacana kebenaran, sanggup disimpulkan sebagai diberikut:
Kebenaran ialah kesesuaian antara pernyataan wacana sesuatu dengan kenyataan itu sendiri.
2. Teori Koherensi wacana kebenaran (konsistensi)
Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini ialah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu pengetahuan dianggap benar berdasarkan teori ini ialah “bila suatu proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terlampau yang berskor benar”. Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu sanggup diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau melalui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibuat atas hubungan antara putusan dengan fakta atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang gres dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terludang keringh lampau.
Teori ini menganggap bahwa“Suatu pernyataan sanggup dikatakan benar apabila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang di anggap benar. “[2][5]
Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “tiruana fauna akan mati” ialah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam ialah fauna, dan ayam akan mati” ialah benar pula, alasannya ialah pernyataan kedua ialah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Jadi berdasarkan teori ini, “putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling bekerjasama dan saling menandakan satu sama lain. Maka lahirlah rumusan kebenaran ialah konsistensi, kecocokan.”[3][6]
3. Teori Pragmatis (Charles S 1839-1914)
Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya ialah William James dan John Dewey. Suatu pengetahuan atau proposisi dianggap benar berdasarkan teori ini ialah “bila proposisi itu mempunyai konsekwensi-konsekwensi mudah (ada manfaat secara praktis) ibarat yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka berdasarkan teori ini, tidak ada kebenaran mutlak, universal, bediri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan tergantung serta sanggup diroreksi oleh pengamalan diberikutnya.
Untuk pertama kalinya teori ini tertuang dalam dalam sebuah makalah tahun 1878 yang berjudul “ How To Make Our Ideas Clear”, kemudian kemudian di kembangkan oleh beberapa pakar filsafat yang kebanyakan orang berkebangsaan Amerika, dan menjadikan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli filsafat ini antara lain William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), Geore Herbart Mead (1863-1931). “Kebanaran bagi aliran ini diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan mudah atau tidak?.”[4][7]
Jika seseorang menyatakan teori x dalam pendidikan, kemudian dari teori itu dikembangkan teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar lantaran fungsional.
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, bukti, atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar kalau mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah kalau tidak mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau wangsit ialah benar apabila ia mambawa kepada akhir yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia mempunyai skor praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya. Makara kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
4. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori Kebenaran Sintaksis. Teori ini berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, ibarat Friederich Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu mengikuti hukum sintaksis (gramatika) yang baku’.
5. Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran Semantis. Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi mempunyai skor benar ditinjau dari segi arti atau arti. Apakah proposisi itu awal tumpuannya pengacu (referent) yang jelas?. Jadi, mempunyai arti maksudnya menunjuk pada rujukan atau kenyataan, juga mempunyai arti yang bersifat definitif.
6. Teori Kebenaran Non- Deskripsi
Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Jadi, berdasarkan teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai skor benar ditentukan (tergantung) kiprah dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang amat mudah dalam kehidupan sehari-hari).
7. Teori Kebenaran Logik
Teori Kebenaran Logik. Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini karenanya merupakan suatu pemborosan, lantaran intinya apa—pernyataan—yang hendak dibuktikan kebenarannya mempunyai derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya.
8. Agama sebagai teori kebenaran
Manusia ialah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran ialah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memdiberikan jawabanan atas segala dilema asasi yang dipertanyakan manusia, baik wacana alam, insan maupun wacana tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya ludang keringh mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, maka dalam teori ini ludang keringh mengedepankan wahyu yang bersumber dari tuhan.
Penalaran dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir sehabis melaksanakan penyelidikan dan pengalaman. Sedangkan insan mencari dan memilih kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau mencari jawabanan wacana masalah asasi dari atau kepada kitab suci, dengan demikian suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan pedoman agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
Advertisement